Jika para pendidik hanya
senang mendidik anak yang pintar, tunggulah kehancuran bangsa ini di kemudian
hari. Karena mayoritas anak-anak bangsa ini masih belum berkualitas tinggi.
Padahal hak seluruh anak bangsa memperoleh pendidikan yang setara dan adil,
sebagaimana diamanatkan konstitusi nasional Indonesia.
Upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa adalah merupakan salah satu cita-cita luhur bangsa ini yang termaktub
dalam pembukaan UUD 1945. Konstitusi telah secara tegas mengamanatkan agar
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa itu merupakan salah satu fondasi utama dari
sebuah bangsa yang besar, untuk meraih cita-cita yang lain, yakni perlindungan
terhadap segenap tumpah darah Indonesia, kesejahteraan, dan keadilan sosial.
Karena itu, konstitusi bukan
hanya menjamin setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Akan tetapi
setiap warga negara malah diwajibkan mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya (Pasal 31 Ayat [2] Amendemen ke-4 UUD 1945). Pemerintah pun
diminta untuk mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan
nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut.
Guna mewujudkan amanat mulia
dalam bidang pendidikan itu, konstitusi juga memerintahkan agar negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN. Meskipun
demikian, perintah konstitusi itu nyata-nyata selalu diabaikan dalam politik
anggaran, yang menempatkan biaya pendidikan kurang dari 20%. Biaya pendidikan
riil yang harus ditanggung masyarakat pun makin melambung.
Di samping mahalnya biaya
pendidikan di Indonesia, kritik tajam pada dunia pendidikan kita pernah
dilontarkan oleh Pater J. Drost S.J. (Kompas, 1998), bahwa Indonesia merupakan
satu-satunya negara di dunia yang menyediakan sekolah hanya untuk anak pandai.
Jumlahnya sekitar 30% dari populasi pelajarnya. Dan tidak ada sekolah untuk
anak biasa dan rata-rata (anak kebanyakan dengan middle IQ). Akibatnya, 70%
dari pelajar Indonesia seolah ditelantarkan. Padahal mereka adalah pokok dari
sumber daya manusia Indonesia, yang kelak amat dibutuhkan untuk membangun negara.
Sudah menjadi rahasia umum,
dunia pendidikan kita memang kerap membuat berbagai kejutan. Kebijakan
pemerintah terhadap kurikulum yang sering berganti, telah menandai betapa dunia
pendidikan kita masih belum mapan.
Padahal, Ki Hadjar Dewantara,
Bapak Pendidikan Nasional, menginginkan agar seluruh anak negeri bisa mengenyam
pendidikan secara merata di Tanah Air. Ki Hadjar menyadari benar bahwa pada
suatu saat pendidikan perlu ditingkatkan mutunya. Walaupun begitu, KHD pun
sangat mahfum, tak semua anak didik mempunyai kapasitas intelektual yang sama.
Ki Hadjar menghendaki
sekolah-sekolah (khususnya Taman Siswa) harus menjadi “bengkel siswa”. Sekolah
tidak saja mengurusi anak-anak yang kapasitas intelektualnya tinggi, tetapi
juga mendampingi, memotivasi, dan mengarahkan anak didik yang dianggap kurang
atau rata-rata. Karena itu, sistem pembelajaran momong, among, ngemong itu
diharapkan mampu memperbaiki kualitas anak didik, yang pada mulanya hanya
mempunyai kapasitas intelektual rata-rata menjadi matang, mandiri dan
berkebudayaan tinggi. Konsep pendidikan yang disesuaikan dengan bakat alam sang
anak itulah sekolah-sekolah (Taman Siswa) benar-benar menjadi ibarat “bengkel”
yang baik.
Senada dengan itu, Pater J.
Drost mengemukakan bahwa rendahnya mutu pelajar bukan karena mereka bodoh dan
tidak berdisiplin. Justru karena mereka dipaksa mengikuti kurikulum pendidikan
yang diperuntukkan kultur Eropa dan Amerika, yang hanya diperuntukkan anak yang
pandai saja. Tak heran jika kemudian sebagian dari mereka menjadi frustrasi
karena semangat belajarnya dirusak. Mereka tak diberi kesempatan untuk belajar
sebagaimana kapasitas intelektual mereka. Bahkan rasa frustrasi itu kemudian
harus ditebus dengan “kematian”. Ada yang sampai bunuh diri.
Hal ini sebenarnya sudah
diprediksi Ki Hadjar Dewantara yang mengatakan, “Tentang zaman yang akan
datang, maka kita akan berada dalam satu kebingungan. Seringkali kita tertipu
oleh keadaan. Yang kita pandang perlu dan selaras untuk hidup kita, sebenarnya
itu adalah keperluan bangsa asing. Demikianlah kita acapkali merusak sendiri
kedamaian hidup kita. Lagi pula kita sering mementingkan pengajaran yang hanya
menuju terlepasnya pikiran (intelektualisme), padahal pengajaran itu membawa
kita pada gelombang penghidupan tidak merdeka (economisch afhankelijk) dan
memisahkan orang-orang terpelajar dengan rakyatnya.”
Pendidikan adalah usaha
kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga
anak didik, agar dalam garis kodrat pribadinya serta pengaruh lingkungannya,
mereka memperoleh kemajuan lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan. Dalam
konteks itulah, maka anak didik sebagai manusia berhak mengatur dirinya sendiri
(sebagai individu) sekaligus wajib memperhatikan tertib damainya kehidupan
bersama (sebagai makhluk sosial).
Dengan demikian, sebagai
usaha kebudayaan, pendidikan hendaknya menjadi motor penggerak untuk mengolah
potensi kodrati anak didik: yaitu olah cipta, olah rasa, dan olah karsa.
Sehingga moto pendidikan nasional kita: takwa, cerdas dan terampil benar-benar
bisa menjadi kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar