Kamis, 31 Mei 2012

PELUNCURAN PROGRAM LAYANAN TIK PEMBELAJARAN

PELUNCURAN PROGRAM LAYANAN TIK PEMBELAJARAN
 
 
 
Luca Farulli
Dalam rangka meningkatkan layanan dan kebutuhan sumber belajar bagi peserta didik, melalui program layanan TIK untuk pembelajaran, Kementerian Pendidikan Nasional meluncurkan Program layanan TIK pembelajaran melalui media berbasis web dan televisi, pada tanggal 15 Juli 2011. Media berbasis web berupa Portal Rumah Belajar dan berbasis televisi diperuntukkan bagi siswa berkebutuhan khusus yaitu media TV/video untuk SLB-B (kategori B/Tuna Rungu)
Program Pemanfaatan layanan TIK Pembelajaran melalui web/internet dan TV/Video ini untuk meningkatkan daya jangkau pendidikan agar bisa melayani sebanyak mungkin masyarakat Indonesia dan sekaligus tetap mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini sesuai dengan misi Kemdiknas yang dituangkan dalam Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010 – 2014, yaitu: Ketersediaan, Keterjangkauan, Kualitas, Kesetaraan, dan Kepastian.
Portal Rumah Belajar, pada beranda terdiri dari 4 fitur yaitu:
  1. Fitur Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP); merupakan fasilitas layanan bagi guru dalam menyiapkan materi pembelajaran, guru dapat langsung mengunggah RPPnya sendiri di fitur tersebut, sehingga dapat juga digunakan oleh guru yang membutuhkannya.
  2. Fitur Bahan Pembelajaran Interaktif, merupakan perpustakaan bahan pembelajaran yang berisikan Materi Pokok mata pelajaran di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK;
  3. Fitur Forum, merupakan tempat untuk diskusi untuk siswa, guru, dan masyarakat.
  4. Fitur Bank Soal berisikan soal-soal latihan, pengguna dapat langsung menguji diri dan dapat mengetahui hasilnya serta ada pembahasan di setiap soalnya. Layanan ini dapat dimanfaatkan oleh siswa dalam melaksanakan pembelajaran baik secara mandiri maupun kelompok.
  5. Fitur Katalog Media, merupakan perpustakaan media pembelajaran yang terdiri atas media gambar, animasi, buku, video, dan audio.
Portal Rumah Belajar merupakan fasilitas untuk melakukan tukar informasi, pengalaman, dan pengetahuan, serta dapat dikompilasi catatan belajar dan mengajar baik untuk siswa, guru, dan masyarakat pengguna yang pada akhirnya menjadi jaringan kerja pendidikan dan sumber belajar Indonesia (Indonesia Education and Resources Network).
TV/video untuk SDLB-B (kategori B/Tuna Rungu) merupakan pengembangan Model dan Format Media Televisi/Video Pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus (kategori B/Tuna Rungu).
Diawali dengan melakukan analisis kebutuhan media TV/Video untuk SDLB-B, selanjutnya diproduksi 4 (empat) prototipa model. Kemudian secara bertahap dikembangkan untuk jenjang SMPLB-B, SMALB-B, dan TKLB-B. Mengingat pengembangan model TV/Video tersebut dipandang bermanfaat bagi siswa berkebutuhan khusus, maka proses produksi terus ditingkatkan jumlahnya sehingga sampai tahun 2011 ditargetkan mencapai 97 judul.
Prototipa model/format media TV/Video tersebut, sebagian telah diujicobakan pada beberapa SLB-B secara sampling pada beberapa provinsi. Sosialisasi produk pengembangan juga telah dilakukan ke Dinas Pendidikan Provinsi, Direktorat PLB Ditjen Dikdasmen melalui seminar, dan terbitan majalah VISI, serta pada Simposium Internasional (ISODEL) tahun 2009 di Yogyakarta.
Sebagai pengembangan pemanfaatan dari produksi TV/video agar bisa diakses lebih luas oleh para guru dan siswa SLB, maupun masyarakat peduli PLB, Pustekkom melalui TV Edukasi berencana akan menyiarkan sejumlah produk yang telah diseleksi kelayakannya sesuai standart siaran (broadcast).
Sehubungan itu, berikut adalah beberapa tanggapan guru Drs. Moh. Nurhadi, guru SMPLB-B Karya Mulya Surabaya terhadap prototipa model/format media TV/video SLB-B sebagai berikut: “Secara materi, dalam pengenalan vocabulary menjadi lebih jelas dan menarik, munculnya caption sangat membantu siswa tunarungu. Secara teknis (bisa di-pause) lebih flexible dan menarik misalnya setelah muncul visual (dipause dulu) anak diminta menerka kemudian jawabannya dicocokkan sama-sama dengan munculnya caption. Bisa juga dipakai untuk latihan mengerjakan soal dalam buku latihan siswa. Beliau mulai memanfaatkan media video tahun 2009, dan masih ada beberapa tanggapan dari guru yang pada intinya mereka sangat membutuhkan.

Permasalahan Belajar Anak Tunarungu di Sekolah Inklusi

Pendengaran adalah anugerah dari Tuhan yang Maha Esa dan sekaligus merupakan salah satu modal hidup bagi manusia karena dengan pendengaran inilah manusia akan mendapatkan berbagai hal, diantaranya dua hal penting yaitu berbahasa dan berkomunikasi. Orang dikatakan berbahasa apabila orang tersebut berkemapuan memahami dan menggunakan kode-kode atau seperangkat tanda yang disepakati bersama untuk mewakili apa yang ada dalam fikirannya. Sedangkan orang berkomunikasi artinya orang tersebut menggunakan bahasa kesepakatan kepada sesamanya untuk menyampaikan pikirannya. Kehilangan fungsi pendengaran sejak bayi terutama yang tuli sama sekali merupakan beban paling berat dirasakan dan sangat berpengaruh buruk terhadap perkembangan akademik dan sosial anak tunarungu.
Anak tunarungu memiliki karakteristik tertentu dalam aspek akademik, sosial-emosional, dan fisik. Anak tunarungu mengalami keterbatasan dalam kemampuan berbicara dan berbahasa, yang mengakibatkan anak tunarungu cenderung memiliki prestasi yang rendah dalam mata pelajaran yang bersifat verbal dan cenderung sama dalam mata pelajaran yang bersifat non verbal dengan anak normal seusianya. Pergaulan anak tunarungu dalam aspek sosial-emosional yaitu terbatas dengan sesama tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi. Sifat egosentris anak tunarungu melebihi anak normal, ditunjukkan dengan sukarnya mereka menempatkan diri pada situasi berfikir dan perasaan orang lain; sukar atau sulit menyesuaikan diri; serta tindakannya lebih terpusat pada “aku/ego”, sehingga kalau ada keinginan harus selalu dipenuhi. Anak tunarungu memiliki perasaan takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar, sehingga mereka tergantung pada orang lain serta kurang percaya diri. Oleh karena itu anak tunarungu membutuhkan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan ketidakmampuannya seperti semua anak tanpa terkecuali untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
Selama beberapa dekade yang lalu, pendidikan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dalam sistem pendidikan bagi anak penyandang disabilitas. Sistem pendidikan tersebut adalah pendidikan segregasi, integrasi, maupun inklusi. Perubahan-perubahan ini termasuk perubahan dalam kesadaran dan sikap, keadaan, metodologi, penggunaan konsep-konsep terkait dan sebagainya. Perubahan-perubahan ini tidak hanya relevan bagi kepentingan dan pengayaan anak penyandang cacat, tetapi juga bagi pengayaan semua yang terlibat; anak-anak (dengan atau tanpa kecacatan), keluarganya, guru-guru dan kepala sekolahnya, komunitas sekolahnya dan mungkin masyarakat secara keseluruhan. Konsekuensi yang paling penting dari perubahan-perubahan ini adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya keragaman. Hal ini juga menghasilkan upaya-upaya untuk “membawa kembali” ke dalam masyarakat mereka yang sebelumnya telah dipisahkan atau disegregasikan oleh mayoritas terbesar masyarakat karena mereka berbeda.
Pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak tunarungu. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusi juga dapat dimaknai sebagi satu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan kesempatan, keadilan, dan perluasan akses pendidikan bagi semua, peningkatan mutu pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, serta upaya merubah sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus
Sekolah inklusi merupakan terobosan pemerintah dalam 5 tahun terakhir ini, untuk memberikan pelayanan khusus bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler agar dapat berkembang secara optimal, namun pada kenyataannya masih banyak masalah yang muncul baik dari segi kultural, kebijakan, maupun teknis itu sendiri.
Pendidikan inklusif bagi anak berkelainan/penyandang cacat belum dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Masih dipahami sebagai upaya memasukkan disabled children ke sekolah regular dalam rangka give education right and kemudahan access education, and againt discrimination. Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap proactive dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan. Selain itu kebijakan di sekolah inklusi masih memiliki beberapa permasalahan. Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima semua jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus, mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing anak berkebutuhan khusus, dan kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau institusi terkait. Mereka juga Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar anak berkebutuhan khusus, serta keharusan orang tua anak berkebutuhan khusus dalam penyediaan guru khusus.
Permasalahan yang muncul dalam segi teknis proses pembelajaran inklusi juga bermacam-macam. Permasalahannya seperti dalam proses pembelajaran masih belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching dan tidak dilakukan secara terkoordinasi. Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam merumusakan flexible curriculum, pembuatan IEP, dan dalam menentukan tujuan, materi, dan metode pembelajaran. Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum anak berkebutuhan khusus sama dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar. Juga keterbatasan fasilitas sekolah, sehingga pelaksanaan pembelajaran belum menggunakan media, resource, dan lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan anak. Belum adanya panduan yang jelas tentang system penilaian. Sistem penilaian belum menggunakan pendekatan yang fleksibel dan beragam. Masih terdapat persepsi bahwa system penilaian hasil belajar anak berkebutuhan khusus sama dengan anak normal lainnya, sehingga berkembang anggapan bahwa mereka tidak menunjukkan kemajuan belajar yang berarti. Selain masalah-masalah tersebut, sekolah inklusi pun belum didukung oleh kualitas guru yang memadai, jarangnya sekolah inklusi yang menyediakan guru pembimbing khusus, serta anggaran dana yang belum memadai.

Sabtu, 17 Maret 2012

Peningkatan Keterampilan Komunikasi Bagi Anak Autis dengan Media PECS


Peningkatan Keterampilan Komunikasi Bagi Anak Autis dengan Media PECS
1.      Pengertian PECS
PECS (Picture Exchange Communication System) adalah suatu pendekatan untuk melatih komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol verbal (Bondy dan Frost, 1994:2). PECS dirancang oleh Andrew Bondy dan Lori Frost pada tahun 1985 dan mulai dipublikasikan pada tahun 1994 di Amerika Serikat. Awalnya PECS ini digunakan untuk siswa-siswa pra sekolah yang mengalami autisme dan kelainan lainnya yang berkaitan dengan gangguan komunikasi. Siswa yang menggunakan PECS ini adalah mereka yang perkembangan bahasanya tidak menggembirakan dan mereka tidak memiliki kemauan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan PECS telah meluas dapat digunakan untuk berbagai usia dan lebih diperdalam lagi.
Dengan menggunakan PECS bukan berarti menyerah bahwa anak tidak akan bicara, tetapi dengan adanya bantuan gambar-gambar atau simbol-simbol maka pemahaman terhadap bahasa yang disampaikan secara verbal dapat dipahami secara jelas. Memang, pada tahap awalnya anak diperkenalkan dengan simbol-simbol non verbal. Namun pada fase akhir dalam penggunaan PECS ini, anak dimotivasi untuk berbicara. Meskipun PECS bukanlah program untuk mengajarkan anak autis cara berbicara, pada akhirnya mendorong mereka untuk berbicara.
Ada kekhawatiran orangtua terhadap anaknya yang menggunakan PECS ini. Mereka khawatir anaknya tidak bisa bicara dan ketergantungan terhadap gambar. Untuk itu Schwartz (1998) dalam www. autism.healingthresholds.com) melakukan penelitian pada 18 orang anak-anak pra sekolah yang mengalami gangguan berbahasa, beberapa diantara mereka didiagnosa sebagai anak autis. Mereka mendapat penanganan dengan menggunakan PECS. Anak-anak tersebut menggunakan PECS untuk berkomunikasi selama di sekolah, tidak hanya pada sesi latihan saja. Ternyata setelah setahun, lebih dari setengahnya telah berhenti menggunakan PECS dan mulai menggunakan kemampuan bicara alaminya.
Tidak ditemukan adanya dampak negatif dari penggunaan PECS ini (Bondy, 2001). Ada pun kekhawatiran akan adanya ketergantungan pada PECS dan keterampilan bicara anak autis menjadi tidak berkembang, pandangan/kekhawatiran itu tidak didasari oleh hasil penelitian. Kenyataanya banyak bukti bahwa anak-anak autis yang menggunakan PECS perkembangan keterampilan bicaranya lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak menggunakan PECS (Bondy, 2001).
Penelitian terakhir oleh Yoder dan Stone (2006) membandingkan antara anak-anak yang menggunakan PECS dengan sistem yang lain. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak autis yang dilatih dengan menggunakan PECS lebih verbal dibandingkan dengan yang lain. PECS ini akan lebih efektif mendorong anak autis untuk lebih verbal jika dilatihkan pada anak berusia di bawah enam tahun.
Berdasarkan pengalaman Wallin (2007:1) ada beberapa keunggulan yang dimiliki oleh PECS ini, diantaranya :
a.       Setiap pertukaran menunjukkan tujuan yang jelas dan mudah dipahami. Pada saat tangan anak menunjuk gambar atau kalimat, maka dapat dengan cepat dan mudah permintaan atau pendapatnya itu dipahami. Melalui PECS, anak telah diberikan jalan yang lancar dan mudah untuk menemukan kebutuhannya.
b.      Sejak dari awal, tujuan komunikasi ditentukan oleh anak. Anak-anak tidak diarahkan untuk merespon kata-kata tertentu atau pengajaran yang ditentukan oleh orang dewasa, akan tetapi anak-anak didorong untuk secara mandiri memperoleh “jembatan” komunikasinya dan terjadi secara alamiah. Guru atau pembimbing mencari apa yang anak inginkan untuk dijadikan penguatan dan jembatan komunikasi dengan anak.
c.       Komunikasi menjadi sesuatu penuh makna dan tinggi motivasi bagi anak autis.
d.      Material (bahan-bahan) yang digunakan cukup murah, mudah disiapkan, dan bisa dipakai kapan saja dan dimana saja. Simbol PECS dapat dibuat dengan digambar sendiri atau dengan foto.
e.       PECS tidak membatasi anak untuk berkomunikasi dengan siapapun. Setiap orang dapat dengan mudah memahami simbol PECS sehingga anak autis dapat berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya dengan keluarganya sendiri.
Pembelajaran komunikasi melalui PECS ini harus dimulai dari objek yang benar-benar anak inginkan. Oleh karenanya menurut Bondy dan Frost (1994) dalam Gardner, et al. (1999:11) dalam penerapan PECS ini perlu adanya penggunaan modifikasi perilaku. Melalui modifikasi perilaku tersebut akan diketahui apa yang anak inginkan. Objek yang diinginkan tersebut akan menjadi penguatan bagi anak untuk melakukan komunikasi melalui pertukaran gambar.
2.      Menyiapkan Material (Bahan-bahan) yang Digunakan
Material yang digunakan dalam PECS cukup murah. Simbol atau gambar dapat diperoleh dengan cara menggambar sendiri, dari majalah atau koran, foto, atau gambar dari komputer (clip art atau dari internet). Bisa juga menggunakan material resmi PECS yang diterbitkan oleh Pyramid Educational Consultants. Inc. Gambar-gambar atau simbol itu dibentuk kartu kemudian dilaminating agar awet dan di belakang gambar itu dipasang pengait (velcro) atau double tape agar bisa dipasang atau digantung pada berbagai media. Untuk menyimpan kartu gambar diperlukan file.
Dibawah ini sebagian contoh gambar yang dapat di gunakan:








Gambar-gambar dan simbol dikelompokkan dan disusun dari yang paling mudah sampai yang paling sulit. Gambar dan simbol dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori, misalnya:
  •  Orang dan jenis kelamin
  • Profesi
  • Kata benda, kata kerja, kata siifat, kata depan
  • Binatang
  • Bagian tubuh
  • Pakaian dan perlengkapannya
  • Jenis pekerjaan
  • Rumah dan perlengkapannya
  • Makanan
  • Perlengkapan masak
  • Transportasi
  • Tempat-tempat umum
  • Waktu dan cuaca

Jumat, 16 Maret 2012

Peranan Orang tua dan Guru Dalam Pemberdayaan Anak Tunarungu

Peranan  Orang tua dan Guru Dalam Pemberdayaan Anak Tunarungu
Dalam memandang pendidikan bagi anak penderita cacat, Warlock (Hidayat, 1998:3) membuat beberapa rekomendasi tentang pendidikan anak luar biasa, yaitu bahwa mereka dididik bukan hanya berdasarkan pada kelainan khusus mereka. Melainkan juga karena adanya kebutuhan terhadap pendidikan khusus. Di samping itu mengintegrasikan anak-anak dengan kebutuhan khusus ke dalam sekolah umum dimanapun adalah memungkinkan dan dapat dilakukan. disini keterlibatan orang tua sangat diperlukan. Orang tua mempunyai suatu hak untuk meminta dan melibatkan diri dalam assessment anak-anaknya dan memutuskan tentang penempatan sekolahnya.
Orang tua memegang peranan yang sangat penting bagi tumbuh kembang anak-anaknya yang mempunyai kelainan tersebut. Kekhususan yang dimilikinya tentunya memerlukan perhatian yang khusus bagi orang tua sehingga ada kesatuan cara pandang antara orang tua di rumah maupun dengan guru di sekolah.
Peran-peran yang dapat dilakukan oleh orang tua dan guru, terutama pada anak tunarungu diantaranya adalah:
Pada umumnya anak tunarungu mengalami masalah dengan kemampuan menyampaikan bahasa lisan sehingga anak tunarungu perlu didorong  untuk mengembangkan bahasa isyarat. Walaupun pemberian penekanan pada penguasaan bahasa isyarat ini menimbulkan pro konta di kalangan para pakar, yang setuju untuk dilakukan penekanan bahasa isyarat beranjak pada pemikiran bahwa sebagai bagian dari masyarakat dan keluarga yang membutuhkan kemampuan berkomunikasi dengan anggota keluarga dan masyarakat maka tatkala kemampuan bahasa lisan tidak memadai maka diperlukan kemampuan berbahasa isyarat sehingga dapat terjalin komunikasi antara si anak dengan orang lain. Untuk itu mereka harus diberi suatu sistem yang mendorong mereka mampu berkomunikasi secara efektif dan dapat menangkap informasi dari orang lain.
Sedangkan yang tidak setuju penekanan pada pemberian bahasa isyarat mengutarakan bahwa pemberian penekanan pada penguasaan bahasa isyarat akan mengganggu atau mengurangi penguasaan bahasa lisan yang sedang dipelajari (Hidayat, 1998:5). Penekanan pada bahasa isyarat juga akan membatasi lingkungan pergaulan anak tunarungu. Hal ini karena komunikasi hanya dapat berlangsung dengan orang-orang yang tahu dan paham bahasa isyarat yang digunakan. 
Bahasa lisan anak tunarungu dapat dikembangkan sesuai dengan kondisinya apabila mereka diberi kesempatan yang maksimal untuk mengembangkan ketrampilan yang memungkinkan mereka untuk berkomunikasi sebanyak-banyaknya.
Untuk mengembangkan kemampuan anak tunarungu sesuai dengan potensinya, orang tua dan guru harus memberikan kesempatan sejak usia dini pada anak untuk mendapatkan latihan pendengaran bagi mereka yang masih mempunyai sisa pendengaran dan belajar bahasa isyarat. Proses tersebut harus difokuskan pada pemahaman anak tunarungu secara individual sehingga orang tua dan guru perlu menyadari perbedaan perjalanan perkembangan anak tunarungu.
Dalam memberdayakan anak tunarungu, peran orang tua dan guru sangatlah vital. Peranan orang tua dan guru sangatlah strategis  dalam pencapaian tujuan pemberdayaan anak tunarungu. Agar anak yang mengalami kelainan tersebut mampu mencapai kemandirian dan melakukan penyesuaian sosial sehingga dapat berperan normal selayaknya anak tanpa kelainan.
Pemberdayaan anak tunarungu akan dapat mencapai hasil yang optimal apabila orang tua dan guru mempunyai sikap positif terhadap kehadiran anak dengan kelainan tersebut.  Selama ini sikap negtif seringkali ada pada orang tua itu sendiri.  Orang tua yang tidak punya pengalaman pribadi dengan anaknya yang berkelaianan, pada umumnya terkejut, menyembunyikan, mengingkari eksistensi anak, dan seringkali mempunyai pandangan yang tidak realistis terhadap kenyataan yang terjadi. Padahal sikap seperti ini bukan menyelesaikan masalah malah menjadi masalah baru terutama yang dikaitkan dengan upaya pemberdayaan anak tunarungu. Untuk itu maka sikap positif harus diwujudkan dan dimiliki oleh orang tua agar anaknya dapat berkembang dan mencapai potensi yang dimilikinya.

Minggu, 11 Maret 2012

Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu

Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.
1.      Pendekatan Auditori Verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).
Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut:
a.       Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
  1. Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
  2. Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
  3. Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
  4. Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
  5. Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
  6. Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
  7. Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
  8. Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
  9. Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.

Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup “reguler”. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).

2.      Pendekatan Auditori Oral
Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997).
Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
a.       Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
  1. Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
  2. Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
  3. Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.

Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.
Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.