PELUNCURAN PROGRAM LAYANAN TIK PEMBELAJARAN | ||
---|---|---|
Dalam rangka meningkatkan layanan dan kebutuhan sumber belajar bagi
peserta didik, melalui program layanan TIK untuk pembelajaran,
Kementerian Pendidikan Nasional meluncurkan Program layanan TIK
pembelajaran melalui media berbasis web dan televisi, pada tanggal 15
Juli 2011. Media berbasis web berupa Portal Rumah Belajar dan berbasis
televisi diperuntukkan bagi siswa berkebutuhan khusus yaitu media
TV/video untuk SLB-B (kategori B/Tuna Rungu)
Program Pemanfaatan layanan TIK Pembelajaran melalui web/internet dan TV/Video ini untuk meningkatkan daya jangkau pendidikan agar bisa melayani sebanyak mungkin masyarakat Indonesia dan sekaligus tetap mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini sesuai dengan misi Kemdiknas yang dituangkan dalam Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010 – 2014, yaitu: Ketersediaan, Keterjangkauan, Kualitas, Kesetaraan, dan Kepastian. Portal Rumah Belajar, pada beranda terdiri dari 4 fitur yaitu:
Portal Rumah Belajar merupakan fasilitas untuk melakukan tukar
informasi, pengalaman, dan pengetahuan, serta dapat dikompilasi catatan
belajar dan mengajar baik untuk siswa, guru, dan masyarakat pengguna
yang pada akhirnya menjadi jaringan kerja pendidikan dan sumber belajar
Indonesia (Indonesia Education and Resources Network).
TV/video untuk SDLB-B (kategori B/Tuna Rungu) merupakan pengembangan Model dan Format Media Televisi/Video Pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus (kategori B/Tuna Rungu). Diawali dengan melakukan analisis kebutuhan media TV/Video untuk SDLB-B, selanjutnya diproduksi 4 (empat) prototipa model. Kemudian secara bertahap dikembangkan untuk jenjang SMPLB-B, SMALB-B, dan TKLB-B. Mengingat pengembangan model TV/Video tersebut dipandang bermanfaat bagi siswa berkebutuhan khusus, maka proses produksi terus ditingkatkan jumlahnya sehingga sampai tahun 2011 ditargetkan mencapai 97 judul. Prototipa model/format media TV/Video tersebut, sebagian telah diujicobakan pada beberapa SLB-B secara sampling pada beberapa provinsi. Sosialisasi produk pengembangan juga telah dilakukan ke Dinas Pendidikan Provinsi, Direktorat PLB Ditjen Dikdasmen melalui seminar, dan terbitan majalah VISI, serta pada Simposium Internasional (ISODEL) tahun 2009 di Yogyakarta. Sebagai pengembangan pemanfaatan dari produksi TV/video agar bisa diakses lebih luas oleh para guru dan siswa SLB, maupun masyarakat peduli PLB, Pustekkom melalui TV Edukasi berencana akan menyiarkan sejumlah produk yang telah diseleksi kelayakannya sesuai standart siaran (broadcast). Sehubungan itu, berikut adalah beberapa tanggapan guru Drs. Moh. Nurhadi, guru SMPLB-B Karya Mulya Surabaya terhadap prototipa model/format media TV/video SLB-B sebagai berikut: “Secara materi, dalam pengenalan vocabulary menjadi lebih jelas dan menarik, munculnya caption sangat membantu siswa tunarungu. Secara teknis (bisa di-pause) lebih flexible dan menarik misalnya setelah muncul visual (dipause dulu) anak diminta menerka kemudian jawabannya dicocokkan sama-sama dengan munculnya caption. Bisa juga dipakai untuk latihan mengerjakan soal dalam buku latihan siswa. Beliau mulai memanfaatkan media video tahun 2009, dan masih ada beberapa tanggapan dari guru yang pada intinya mereka sangat membutuhkan. |
Fatma Amelia
Kamis, 31 Mei 2012
PELUNCURAN PROGRAM LAYANAN TIK PEMBELAJARAN
Permasalahan Belajar Anak Tunarungu di Sekolah Inklusi
Pendengaran
adalah anugerah dari Tuhan yang Maha Esa dan sekaligus merupakan salah
satu modal hidup bagi manusia karena dengan pendengaran inilah manusia
akan mendapatkan berbagai hal, diantaranya dua hal penting yaitu
berbahasa dan berkomunikasi. Orang dikatakan berbahasa apabila orang
tersebut berkemapuan memahami dan menggunakan kode-kode atau seperangkat
tanda yang disepakati bersama untuk mewakili apa yang ada dalam
fikirannya. Sedangkan orang berkomunikasi artinya orang tersebut
menggunakan bahasa kesepakatan kepada sesamanya untuk menyampaikan
pikirannya. Kehilangan fungsi pendengaran sejak bayi terutama yang tuli
sama sekali merupakan beban paling berat dirasakan dan sangat
berpengaruh buruk terhadap perkembangan akademik dan sosial anak
tunarungu.
Anak
tunarungu memiliki karakteristik tertentu dalam aspek akademik,
sosial-emosional, dan fisik. Anak tunarungu mengalami keterbatasan dalam
kemampuan berbicara dan berbahasa, yang mengakibatkan anak tunarungu
cenderung memiliki prestasi yang rendah dalam mata pelajaran yang
bersifat verbal dan cenderung
sama dalam mata pelajaran yang bersifat non verbal dengan anak normal
seusianya. Pergaulan anak tunarungu dalam aspek sosial-emosional yaitu terbatas dengan sesama
tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan dalam kemampuan
berkomunikasi. Sifat egosentris anak tunarungu melebihi anak normal,
ditunjukkan dengan sukarnya mereka menempatkan diri pada situasi
berfikir dan perasaan orang lain; sukar atau sulit menyesuaikan diri;
serta tindakannya lebih terpusat pada “aku/ego”, sehingga kalau ada
keinginan harus selalu dipenuhi. Anak tunarungu memiliki perasaan takut
(khawatir) terhadap lingkungan sekitar, sehingga mereka tergantung pada
orang lain serta kurang percaya diri. Oleh karena itu anak
tunarungu membutuhkan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik,
kemampuan, dan ketidakmampuannya seperti semua anak tanpa terkecuali
untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
Selama
beberapa dekade yang lalu, pendidikan di Indonesia telah mengalami
banyak perubahan dalam sistem pendidikan bagi anak penyandang disabilitas.
Sistem pendidikan tersebut adalah pendidikan segregasi, integrasi,
maupun inklusi. Perubahan-perubahan ini termasuk perubahan dalam
kesadaran dan sikap, keadaan, metodologi, penggunaan konsep-konsep
terkait dan sebagainya. Perubahan-perubahan ini tidak hanya relevan bagi
kepentingan dan pengayaan anak penyandang cacat, tetapi juga bagi
pengayaan semua yang terlibat; anak-anak (dengan atau tanpa kecacatan),
keluarganya, guru-guru dan kepala sekolahnya, komunitas sekolahnya dan
mungkin masyarakat secara keseluruhan. Konsekuensi yang paling penting
dari perubahan-perubahan ini adalah pengakuan dan penghargaan akan
adanya keragaman. Hal
ini juga menghasilkan upaya-upaya untuk “membawa kembali” ke dalam
masyarakat mereka yang sebelumnya telah dipisahkan atau disegregasikan
oleh mayoritas terbesar masyarakat karena mereka berbeda.
Pendidikan
inklusif merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan
strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan
khusus termasuk anak tunarungu. Dalam konteks yang lebih luas,
pendidikan inklusi juga dapat dimaknai sebagi satu bentuk reformasi
pendidikan yang menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan persamaan
hak dan kesempatan, keadilan, dan perluasan akses pendidikan bagi
semua, peningkatan mutu pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan
wajib belajar 9 tahun, serta upaya merubah sikap masyarakat terhadap
anak berkebutuhan khusus
Sekolah
inklusi merupakan terobosan pemerintah dalam 5 tahun terakhir ini,
untuk memberikan pelayanan khusus bagi anak berkebutuhan khusus di
sekolah reguler agar dapat berkembang secara optimal, namun pada
kenyataannya masih banyak masalah yang muncul baik dari segi kultural,
kebijakan, maupun teknis itu sendiri.
Pendidikan
inklusif bagi anak berkelainan/penyandang cacat belum dipahami sebagai
upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Masih dipahami sebagai
upaya memasukkan disabled children ke sekolah regular dalam rangka give
education right and kemudahan access education, and againt
discrimination. Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu
bersikap proactive dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain
orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan. Selain
itu kebijakan di sekolah inklusi masih memiliki beberapa permasalahan. Sekalipun sudah didukung dengan visi
yang cukup jelas, menerima semua jenis anak cacat, sebagian sudah
memiliki guru khusus, mempunyai catatan hambatan belajar pada
masing-masing anak berkebutuhan khusus, dan kebebasan guru kelas dan
guru khusus untuk mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif
dan inovatif, namun cenderung belum didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau institusi terkait. Mereka juga Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar anak berkebutuhan khusus, serta keharusan orang tua anak berkebutuhan khusus dalam penyediaan guru khusus.
Permasalahan yang muncul dalam segi teknis proses pembelajaran inklusi juga bermacam-macam. Permasalahannya seperti dalam
proses pembelajaran masih belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching
dan tidak dilakukan secara terkoordinasi. Guru cenderung masih
mengalami kesulitan dalam merumusakan flexible curriculum,
pembuatan IEP, dan dalam menentukan tujuan, materi, dan metode
pembelajaran. Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum
anak berkebutuhan khusus sama dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa
siswa cacat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi
belajar. Juga keterbatasan fasilitas sekolah, sehingga pelaksanaan
pembelajaran belum menggunakan media, resource, dan lingkungan yang
beragam sesuai kebutuhan anak. Belum adanya panduan yang jelas tentang
system penilaian. Sistem penilaian belum menggunakan pendekatan yang
fleksibel dan beragam. Masih
terdapat persepsi bahwa system penilaian hasil belajar anak berkebutuhan
khusus sama dengan anak normal lainnya, sehingga berkembang anggapan
bahwa mereka tidak menunjukkan kemajuan belajar yang berarti. Selain
masalah-masalah tersebut, sekolah inklusi pun belum didukung oleh
kualitas guru yang memadai, jarangnya sekolah inklusi yang menyediakan
guru pembimbing khusus, serta anggaran dana yang belum memadai.
Sabtu, 17 Maret 2012
Peningkatan Keterampilan Komunikasi Bagi Anak Autis dengan Media PECS
Peningkatan
Keterampilan Komunikasi Bagi Anak Autis dengan Media PECS
1.
Pengertian PECS
PECS
(Picture Exchange Communication System) adalah suatu pendekatan untuk
melatih komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol verbal (Bondy dan Frost,
1994:2). PECS dirancang oleh Andrew Bondy dan Lori Frost pada tahun 1985 dan
mulai dipublikasikan pada tahun 1994 di Amerika Serikat. Awalnya PECS ini
digunakan untuk siswa-siswa pra sekolah yang mengalami autisme dan kelainan lainnya
yang berkaitan dengan gangguan komunikasi. Siswa yang menggunakan PECS ini
adalah mereka yang perkembangan bahasanya tidak menggembirakan dan mereka tidak
memiliki kemauan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam perkembangan
selanjutnya, penggunaan PECS telah meluas dapat digunakan untuk berbagai usia
dan lebih diperdalam lagi.
Dengan
menggunakan PECS bukan berarti menyerah bahwa anak tidak akan bicara, tetapi
dengan adanya bantuan gambar-gambar atau simbol-simbol maka pemahaman terhadap
bahasa yang disampaikan secara verbal dapat dipahami secara jelas. Memang, pada
tahap awalnya anak diperkenalkan dengan simbol-simbol non verbal. Namun pada
fase akhir dalam penggunaan PECS ini, anak dimotivasi untuk berbicara. Meskipun
PECS bukanlah program untuk mengajarkan anak autis cara berbicara, pada
akhirnya mendorong mereka untuk berbicara.
Ada
kekhawatiran orangtua terhadap anaknya yang menggunakan PECS ini. Mereka
khawatir anaknya tidak bisa bicara dan ketergantungan terhadap gambar. Untuk
itu Schwartz (1998) dalam www. autism.healingthresholds.com) melakukan
penelitian pada 18 orang anak-anak pra sekolah yang mengalami gangguan
berbahasa, beberapa diantara mereka didiagnosa sebagai anak autis. Mereka
mendapat penanganan dengan menggunakan PECS. Anak-anak tersebut menggunakan
PECS untuk berkomunikasi selama di sekolah, tidak hanya pada sesi latihan saja.
Ternyata setelah setahun, lebih dari setengahnya telah berhenti menggunakan
PECS dan mulai menggunakan kemampuan bicara alaminya.
Tidak
ditemukan adanya dampak negatif dari penggunaan PECS ini (Bondy, 2001). Ada pun
kekhawatiran akan adanya ketergantungan pada PECS dan keterampilan bicara anak
autis menjadi tidak berkembang, pandangan/kekhawatiran itu tidak didasari oleh
hasil penelitian. Kenyataanya banyak bukti bahwa anak-anak autis yang
menggunakan PECS perkembangan keterampilan bicaranya lebih cepat dibandingkan
dengan yang tidak menggunakan PECS (Bondy, 2001).
Penelitian
terakhir oleh Yoder dan Stone (2006) membandingkan antara anak-anak yang
menggunakan PECS dengan sistem yang lain. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak
autis yang dilatih dengan menggunakan PECS lebih verbal dibandingkan dengan
yang lain. PECS ini akan lebih efektif mendorong anak autis untuk lebih verbal
jika dilatihkan pada anak berusia di bawah enam tahun.
Berdasarkan
pengalaman Wallin (2007:1) ada beberapa keunggulan yang dimiliki oleh PECS ini,
diantaranya :
a. Setiap
pertukaran menunjukkan tujuan yang jelas dan mudah dipahami. Pada saat tangan
anak menunjuk gambar atau kalimat, maka dapat dengan cepat dan mudah permintaan
atau pendapatnya itu dipahami. Melalui PECS, anak telah diberikan jalan yang
lancar dan mudah untuk menemukan kebutuhannya.
b. Sejak
dari awal, tujuan komunikasi ditentukan oleh anak. Anak-anak tidak diarahkan
untuk merespon kata-kata tertentu atau pengajaran yang ditentukan oleh orang
dewasa, akan tetapi anak-anak didorong untuk secara mandiri memperoleh
“jembatan” komunikasinya dan terjadi secara alamiah. Guru atau pembimbing
mencari apa yang anak inginkan untuk dijadikan penguatan dan jembatan
komunikasi dengan anak.
c. Komunikasi
menjadi sesuatu penuh makna dan tinggi motivasi bagi anak autis.
d. Material
(bahan-bahan) yang digunakan cukup murah, mudah disiapkan, dan bisa dipakai
kapan saja dan dimana saja. Simbol PECS dapat dibuat dengan digambar sendiri
atau dengan foto.
e. PECS
tidak membatasi anak untuk berkomunikasi dengan siapapun. Setiap orang dapat
dengan mudah memahami simbol PECS sehingga anak autis dapat berkomunikasi
dengan orang lain tidak hanya dengan keluarganya sendiri.
Pembelajaran
komunikasi melalui PECS ini harus dimulai dari objek yang benar-benar anak
inginkan. Oleh karenanya menurut Bondy dan Frost (1994) dalam Gardner, et al.
(1999:11) dalam penerapan PECS ini perlu adanya penggunaan modifikasi perilaku.
Melalui modifikasi perilaku tersebut akan diketahui apa yang anak inginkan.
Objek yang diinginkan tersebut akan menjadi penguatan bagi anak untuk melakukan
komunikasi melalui pertukaran gambar.
2.
Menyiapkan Material (Bahan-bahan) yang
Digunakan
Material
yang digunakan dalam PECS cukup murah. Simbol atau gambar dapat diperoleh
dengan cara menggambar sendiri, dari majalah atau koran, foto, atau gambar dari
komputer (clip art atau dari internet). Bisa juga menggunakan material
resmi PECS yang diterbitkan oleh Pyramid Educational Consultants. Inc.
Gambar-gambar atau simbol itu dibentuk kartu kemudian dilaminating agar awet
dan di belakang gambar itu dipasang pengait (velcro) atau double tape
agar bisa dipasang atau digantung pada berbagai media. Untuk menyimpan kartu
gambar diperlukan file.
Dibawah
ini sebagian contoh gambar yang dapat di gunakan:
Gambar-gambar
dan simbol dikelompokkan dan disusun dari yang paling mudah sampai yang paling
sulit. Gambar dan simbol dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori, misalnya:
- Orang dan jenis kelamin
- Profesi
- Kata benda, kata kerja, kata siifat, kata depan
- Binatang
- Bagian tubuh
- Pakaian dan perlengkapannya
- Jenis pekerjaan
- Rumah dan perlengkapannya
- Makanan
- Perlengkapan masak
- Transportasi
- Tempat-tempat umum
- Waktu dan cuaca
Jumat, 16 Maret 2012
Peranan Orang tua dan Guru Dalam Pemberdayaan Anak Tunarungu
Peranan Orang tua
dan Guru Dalam Pemberdayaan Anak Tunarungu
Dalam memandang pendidikan bagi anak penderita cacat,
Warlock (Hidayat, 1998:3) membuat beberapa rekomendasi tentang pendidikan anak
luar biasa, yaitu bahwa mereka dididik bukan hanya berdasarkan pada kelainan
khusus mereka. Melainkan juga karena adanya kebutuhan terhadap pendidikan
khusus. Di samping itu mengintegrasikan anak-anak dengan kebutuhan khusus ke
dalam sekolah umum dimanapun adalah memungkinkan dan dapat dilakukan. disini
keterlibatan orang tua sangat diperlukan. Orang tua mempunyai suatu hak untuk
meminta dan melibatkan diri dalam assessment anak-anaknya dan memutuskan
tentang penempatan sekolahnya.
Orang tua memegang peranan yang sangat penting bagi
tumbuh kembang anak-anaknya yang mempunyai kelainan tersebut. Kekhususan yang
dimilikinya tentunya memerlukan perhatian yang khusus bagi orang tua sehingga
ada kesatuan cara pandang antara orang tua di rumah maupun dengan guru di
sekolah.
Peran-peran yang dapat dilakukan oleh orang tua dan guru,
terutama pada anak tunarungu diantaranya adalah:
Pada umumnya anak tunarungu mengalami masalah dengan
kemampuan menyampaikan bahasa lisan sehingga anak tunarungu perlu didorong untuk mengembangkan bahasa isyarat. Walaupun
pemberian penekanan pada penguasaan bahasa isyarat ini menimbulkan pro konta di
kalangan para pakar, yang setuju untuk dilakukan penekanan bahasa isyarat
beranjak pada pemikiran bahwa sebagai bagian dari masyarakat dan keluarga yang
membutuhkan kemampuan berkomunikasi dengan anggota keluarga dan masyarakat maka
tatkala kemampuan bahasa lisan tidak memadai maka diperlukan kemampuan
berbahasa isyarat sehingga dapat terjalin komunikasi antara si anak dengan
orang lain. Untuk itu mereka harus diberi suatu sistem yang mendorong mereka
mampu berkomunikasi secara efektif dan dapat menangkap informasi dari orang
lain.
Sedangkan yang tidak setuju penekanan pada pemberian
bahasa isyarat mengutarakan bahwa pemberian penekanan pada penguasaan bahasa
isyarat akan mengganggu atau mengurangi penguasaan bahasa lisan yang sedang
dipelajari (Hidayat, 1998:5). Penekanan pada bahasa isyarat juga akan membatasi
lingkungan pergaulan anak tunarungu. Hal ini karena komunikasi hanya dapat
berlangsung dengan orang-orang yang tahu dan paham bahasa isyarat yang
digunakan.
Bahasa lisan anak tunarungu dapat dikembangkan sesuai
dengan kondisinya apabila mereka diberi kesempatan yang maksimal untuk
mengembangkan ketrampilan yang memungkinkan mereka untuk berkomunikasi
sebanyak-banyaknya.
Untuk mengembangkan kemampuan anak tunarungu sesuai
dengan potensinya, orang tua dan guru harus memberikan kesempatan sejak usia
dini pada anak untuk mendapatkan latihan pendengaran bagi mereka yang masih
mempunyai sisa pendengaran dan belajar bahasa isyarat. Proses tersebut harus
difokuskan pada pemahaman anak tunarungu secara individual sehingga orang tua
dan guru perlu menyadari perbedaan perjalanan perkembangan anak tunarungu.
Dalam
memberdayakan anak tunarungu, peran orang tua dan guru sangatlah vital. Peranan
orang tua dan guru sangatlah strategis
dalam pencapaian tujuan pemberdayaan anak tunarungu. Agar anak yang
mengalami kelainan tersebut mampu mencapai kemandirian dan melakukan
penyesuaian sosial sehingga dapat berperan normal selayaknya anak tanpa kelainan.
Pemberdayaan
anak tunarungu akan dapat mencapai hasil yang optimal apabila orang tua dan
guru mempunyai sikap positif terhadap kehadiran anak dengan kelainan tersebut. Selama ini sikap negtif seringkali ada pada orang tua itu sendiri. Orang tua yang tidak punya pengalaman pribadi
dengan anaknya yang berkelaianan, pada umumnya terkejut, menyembunyikan,
mengingkari eksistensi anak, dan seringkali mempunyai pandangan yang tidak
realistis terhadap kenyataan yang terjadi. Padahal sikap seperti ini bukan
menyelesaikan masalah malah menjadi masalah baru terutama yang dikaitkan dengan
upaya pemberdayaan anak tunarungu. Untuk itu maka sikap positif harus diwujudkan dan
dimiliki oleh orang tua agar anaknya dapat berkembang dan mencapai potensi yang
dimilikinya.
Minggu, 11 Maret 2012
Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pendekatan
dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu
harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang
optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu
secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.
1.
Pendekatan
Auditori Verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu
tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga
yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah
auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang
semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan untuk mengembangkan
kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam
lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori verbal didasarkan
atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar
mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal
merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan
dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip
auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg,
1997).
Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai
berikut:
a.
Berusaha
sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik
perawatan bayi.
- Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
- Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
- Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
- Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
- Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
- Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
- Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
- Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
- Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.
Hasil
penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat
dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan
bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan
lingkungan hidup “reguler”. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa
di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang
tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan
masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik
daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam
Goldberg, 1997).
2.
Pendekatan
Auditori Oral
Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis mendasar
bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun
ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini
akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan
dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah
dan sekolah (Stone, 1997).
Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat penting
untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
a.
Keterlibatan
orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif
orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
- Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
- Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
- Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.
Mengajari
anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan
perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori
oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di
kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat
tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi.
Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk
mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds)
merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan
itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu
tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara
terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami
kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara
naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam
setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya
dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran dilaksanakan
dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah
reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi
dan belajar anak.
Keuntungan
utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara
langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi
anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers
dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu
usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan
memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata
membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali
lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika
Serikat.
Langganan:
Postingan (Atom)