Kamis, 31 Mei 2012

PELUNCURAN PROGRAM LAYANAN TIK PEMBELAJARAN

PELUNCURAN PROGRAM LAYANAN TIK PEMBELAJARAN
 
 
 
Luca Farulli
Dalam rangka meningkatkan layanan dan kebutuhan sumber belajar bagi peserta didik, melalui program layanan TIK untuk pembelajaran, Kementerian Pendidikan Nasional meluncurkan Program layanan TIK pembelajaran melalui media berbasis web dan televisi, pada tanggal 15 Juli 2011. Media berbasis web berupa Portal Rumah Belajar dan berbasis televisi diperuntukkan bagi siswa berkebutuhan khusus yaitu media TV/video untuk SLB-B (kategori B/Tuna Rungu)
Program Pemanfaatan layanan TIK Pembelajaran melalui web/internet dan TV/Video ini untuk meningkatkan daya jangkau pendidikan agar bisa melayani sebanyak mungkin masyarakat Indonesia dan sekaligus tetap mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini sesuai dengan misi Kemdiknas yang dituangkan dalam Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010 – 2014, yaitu: Ketersediaan, Keterjangkauan, Kualitas, Kesetaraan, dan Kepastian.
Portal Rumah Belajar, pada beranda terdiri dari 4 fitur yaitu:
  1. Fitur Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP); merupakan fasilitas layanan bagi guru dalam menyiapkan materi pembelajaran, guru dapat langsung mengunggah RPPnya sendiri di fitur tersebut, sehingga dapat juga digunakan oleh guru yang membutuhkannya.
  2. Fitur Bahan Pembelajaran Interaktif, merupakan perpustakaan bahan pembelajaran yang berisikan Materi Pokok mata pelajaran di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK;
  3. Fitur Forum, merupakan tempat untuk diskusi untuk siswa, guru, dan masyarakat.
  4. Fitur Bank Soal berisikan soal-soal latihan, pengguna dapat langsung menguji diri dan dapat mengetahui hasilnya serta ada pembahasan di setiap soalnya. Layanan ini dapat dimanfaatkan oleh siswa dalam melaksanakan pembelajaran baik secara mandiri maupun kelompok.
  5. Fitur Katalog Media, merupakan perpustakaan media pembelajaran yang terdiri atas media gambar, animasi, buku, video, dan audio.
Portal Rumah Belajar merupakan fasilitas untuk melakukan tukar informasi, pengalaman, dan pengetahuan, serta dapat dikompilasi catatan belajar dan mengajar baik untuk siswa, guru, dan masyarakat pengguna yang pada akhirnya menjadi jaringan kerja pendidikan dan sumber belajar Indonesia (Indonesia Education and Resources Network).
TV/video untuk SDLB-B (kategori B/Tuna Rungu) merupakan pengembangan Model dan Format Media Televisi/Video Pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus (kategori B/Tuna Rungu).
Diawali dengan melakukan analisis kebutuhan media TV/Video untuk SDLB-B, selanjutnya diproduksi 4 (empat) prototipa model. Kemudian secara bertahap dikembangkan untuk jenjang SMPLB-B, SMALB-B, dan TKLB-B. Mengingat pengembangan model TV/Video tersebut dipandang bermanfaat bagi siswa berkebutuhan khusus, maka proses produksi terus ditingkatkan jumlahnya sehingga sampai tahun 2011 ditargetkan mencapai 97 judul.
Prototipa model/format media TV/Video tersebut, sebagian telah diujicobakan pada beberapa SLB-B secara sampling pada beberapa provinsi. Sosialisasi produk pengembangan juga telah dilakukan ke Dinas Pendidikan Provinsi, Direktorat PLB Ditjen Dikdasmen melalui seminar, dan terbitan majalah VISI, serta pada Simposium Internasional (ISODEL) tahun 2009 di Yogyakarta.
Sebagai pengembangan pemanfaatan dari produksi TV/video agar bisa diakses lebih luas oleh para guru dan siswa SLB, maupun masyarakat peduli PLB, Pustekkom melalui TV Edukasi berencana akan menyiarkan sejumlah produk yang telah diseleksi kelayakannya sesuai standart siaran (broadcast).
Sehubungan itu, berikut adalah beberapa tanggapan guru Drs. Moh. Nurhadi, guru SMPLB-B Karya Mulya Surabaya terhadap prototipa model/format media TV/video SLB-B sebagai berikut: “Secara materi, dalam pengenalan vocabulary menjadi lebih jelas dan menarik, munculnya caption sangat membantu siswa tunarungu. Secara teknis (bisa di-pause) lebih flexible dan menarik misalnya setelah muncul visual (dipause dulu) anak diminta menerka kemudian jawabannya dicocokkan sama-sama dengan munculnya caption. Bisa juga dipakai untuk latihan mengerjakan soal dalam buku latihan siswa. Beliau mulai memanfaatkan media video tahun 2009, dan masih ada beberapa tanggapan dari guru yang pada intinya mereka sangat membutuhkan.

Permasalahan Belajar Anak Tunarungu di Sekolah Inklusi

Pendengaran adalah anugerah dari Tuhan yang Maha Esa dan sekaligus merupakan salah satu modal hidup bagi manusia karena dengan pendengaran inilah manusia akan mendapatkan berbagai hal, diantaranya dua hal penting yaitu berbahasa dan berkomunikasi. Orang dikatakan berbahasa apabila orang tersebut berkemapuan memahami dan menggunakan kode-kode atau seperangkat tanda yang disepakati bersama untuk mewakili apa yang ada dalam fikirannya. Sedangkan orang berkomunikasi artinya orang tersebut menggunakan bahasa kesepakatan kepada sesamanya untuk menyampaikan pikirannya. Kehilangan fungsi pendengaran sejak bayi terutama yang tuli sama sekali merupakan beban paling berat dirasakan dan sangat berpengaruh buruk terhadap perkembangan akademik dan sosial anak tunarungu.
Anak tunarungu memiliki karakteristik tertentu dalam aspek akademik, sosial-emosional, dan fisik. Anak tunarungu mengalami keterbatasan dalam kemampuan berbicara dan berbahasa, yang mengakibatkan anak tunarungu cenderung memiliki prestasi yang rendah dalam mata pelajaran yang bersifat verbal dan cenderung sama dalam mata pelajaran yang bersifat non verbal dengan anak normal seusianya. Pergaulan anak tunarungu dalam aspek sosial-emosional yaitu terbatas dengan sesama tunarungu, sebagai akibat dari keterbatasan dalam kemampuan berkomunikasi. Sifat egosentris anak tunarungu melebihi anak normal, ditunjukkan dengan sukarnya mereka menempatkan diri pada situasi berfikir dan perasaan orang lain; sukar atau sulit menyesuaikan diri; serta tindakannya lebih terpusat pada “aku/ego”, sehingga kalau ada keinginan harus selalu dipenuhi. Anak tunarungu memiliki perasaan takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar, sehingga mereka tergantung pada orang lain serta kurang percaya diri. Oleh karena itu anak tunarungu membutuhkan pendidikan yang disesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan ketidakmampuannya seperti semua anak tanpa terkecuali untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
Selama beberapa dekade yang lalu, pendidikan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dalam sistem pendidikan bagi anak penyandang disabilitas. Sistem pendidikan tersebut adalah pendidikan segregasi, integrasi, maupun inklusi. Perubahan-perubahan ini termasuk perubahan dalam kesadaran dan sikap, keadaan, metodologi, penggunaan konsep-konsep terkait dan sebagainya. Perubahan-perubahan ini tidak hanya relevan bagi kepentingan dan pengayaan anak penyandang cacat, tetapi juga bagi pengayaan semua yang terlibat; anak-anak (dengan atau tanpa kecacatan), keluarganya, guru-guru dan kepala sekolahnya, komunitas sekolahnya dan mungkin masyarakat secara keseluruhan. Konsekuensi yang paling penting dari perubahan-perubahan ini adalah pengakuan dan penghargaan akan adanya keragaman. Hal ini juga menghasilkan upaya-upaya untuk “membawa kembali” ke dalam masyarakat mereka yang sebelumnya telah dipisahkan atau disegregasikan oleh mayoritas terbesar masyarakat karena mereka berbeda.
Pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak tunarungu. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusi juga dapat dimaknai sebagi satu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan kesempatan, keadilan, dan perluasan akses pendidikan bagi semua, peningkatan mutu pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, serta upaya merubah sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus
Sekolah inklusi merupakan terobosan pemerintah dalam 5 tahun terakhir ini, untuk memberikan pelayanan khusus bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler agar dapat berkembang secara optimal, namun pada kenyataannya masih banyak masalah yang muncul baik dari segi kultural, kebijakan, maupun teknis itu sendiri.
Pendidikan inklusif bagi anak berkelainan/penyandang cacat belum dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Masih dipahami sebagai upaya memasukkan disabled children ke sekolah regular dalam rangka give education right and kemudahan access education, and againt discrimination. Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap proactive dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan. Selain itu kebijakan di sekolah inklusi masih memiliki beberapa permasalahan. Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima semua jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus, mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing anak berkebutuhan khusus, dan kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau institusi terkait. Mereka juga Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar anak berkebutuhan khusus, serta keharusan orang tua anak berkebutuhan khusus dalam penyediaan guru khusus.
Permasalahan yang muncul dalam segi teknis proses pembelajaran inklusi juga bermacam-macam. Permasalahannya seperti dalam proses pembelajaran masih belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching dan tidak dilakukan secara terkoordinasi. Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam merumusakan flexible curriculum, pembuatan IEP, dan dalam menentukan tujuan, materi, dan metode pembelajaran. Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum anak berkebutuhan khusus sama dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar. Juga keterbatasan fasilitas sekolah, sehingga pelaksanaan pembelajaran belum menggunakan media, resource, dan lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan anak. Belum adanya panduan yang jelas tentang system penilaian. Sistem penilaian belum menggunakan pendekatan yang fleksibel dan beragam. Masih terdapat persepsi bahwa system penilaian hasil belajar anak berkebutuhan khusus sama dengan anak normal lainnya, sehingga berkembang anggapan bahwa mereka tidak menunjukkan kemajuan belajar yang berarti. Selain masalah-masalah tersebut, sekolah inklusi pun belum didukung oleh kualitas guru yang memadai, jarangnya sekolah inklusi yang menyediakan guru pembimbing khusus, serta anggaran dana yang belum memadai.